Kelompok Samin atau sering disebut sedulur sikep adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko, ia
mengajarkan bagaimana dia harus bersikap terhadap penjajahan belanda pada waktu
itu. Bentuk yang dilakukan dalam rangka melawan penjajahan adalah dengan cara
menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah
kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan
Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh
kelompok di luarnya. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru
pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka.
Samin Surosentiko |
Menurut orang Samin Agama adalah senjata atau pegangan
hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin
tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam
hidupnya yaitu dengan tidak merugikan orang laindan bersikap rendah hati. Manusia
hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya
satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal
tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
Bagi golongan tua kaum Samin, hingga kini agama yang mereka
anut adalah agama yang sama yang dianut oleh orang Samin awal, yaitu agama
Adam. agama Adam sendiri dikembangkan oleh pendiri gerakan Samin, yakni Kyai
Samin, sebagai agama kaum Samin. Dalam agama Adam, nilai-nilai moralitas
seperti kejujuran, welas asih, tangggung Jawab, dan menyayangi alam sangat
ditekankan.
Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan
terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam
bentuk uang. Walaupun masa penjajahan
Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah
Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah mereka tidak
mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Orang Samin tidak memakai tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa
yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak
dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang
tanpa kerah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian
wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung
lutut atau di atas mata kaki.
Komunitas Samin Bojonegoro |
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan
dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya
sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi
lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di
luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan
kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama
pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam
ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang
seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia). Dalam perkawinan
seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi
kurang lebih demikian: “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali
ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup
bersama telah kami jalani berdua.” Menurut orang Samin perkawinan sudah
dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Ajaran
kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko tentang ernikahan pada pengikutnya
yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat
positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan
tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin
yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat
ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani
tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan
(tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu
penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis
atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu
deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat
dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding
batu bata. Bangunan rumah
relatif luas dengan bentuk limasan, kampung, atau joglo. Penataan ruang sangat
sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang tamu yang cukup luas, kamar
tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya
digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar, di
samping rumah.
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin
antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah
sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang
berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan,
dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.
Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat
Samin. Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam
pertanian, serta menggunakan peralatan rumah tangga dari plastik, aluminium,
dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar